Seorang teman, katakanlah saja begitu, menulis sesuatu yang tidak biasa. Jika di semua waktu senggangnya ia biasa menulis konten-konten yang menggelitik, di waktu tersebut ia menulis tentang sebuah hubungan. Hal yang sebenarnya tidak ia kuasai betul.

Katanya,

Makin tua, makin sadar bahwa relationship itu bukan saling menerima kekurangan tapi saling menerima kebahagiaan masing-masing. 
Bahagia, walau positif, tetap sebuah ego. Saya membayangkan nanti, saya yang bahagianya ini kalau banyak jalan-jalan, akan berjodoh dengan dia yang bahagianya berdiam diri di rumah saja bahkan di hari libur. 
Atau saya yang ngopi indocafe sachet airnya kebanyakan saja sudah cukup bahagia, harus tinggal satu atap dengan dia yang standar bahagia ngopinya kalau nyeduh kopi harus digiling, diroasting, diaduk 18 kali dengan sendok 45 derajat menghadap timur laut, dituang pelan-pelan dan gak pakai gula sama sekali. 
Menerima kekurangan adalah keniscayaan tidak ada tempat baginya selain penerimaan. Tetapi menerima kebahagiaan masing-masing supaya menjadi kebahagiaan bersama tanpa harus mengubah saya menjadi dirinya atau mengubah dirinya menjadi dia yang kesaya-sayaan adalah sebuah anugerah tak terperi
 Feb, 2019 Yosfiqar Iqbal. 

Kamu boleh mengabaikan tulisannya yang lain dan cukup fokus pada kalimat yang saya tandai tebal. Entah berapa banyak kopi yang ia minum, entah berapa kilometer perjalanan yang ia tempuh, entah berapa sakit yang ia rasakan sebelumnya untuk menulis dua-tiga paragraf itu. Satu yang pasti: saya tidak bisa tidak setuju.

Saya tersentil. Apa saya sudah bisa melakukannya?

Di usia yang semakin menua, kita tidak bisa terus-terusan terlena dengan omong kosong ‘aku siap menerima kekuranganmu apa adanya’. Itu hanya kalimat abege sok tahu yang ingin dianggap bijak di depan pasangannya. Karena, bagaimanapun kekurangan, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, adalah sebuah asesoris pelengkap yang mau tidak mau kita terima ketika kita memilih seseorang untuk berkomitmen hidup bersama sampai usia yang entah. Saat kamu berpikiran dewasa, kamu tidak bisa memilihnya dengan syarat ia harus meninggalkan semua kekurangan yang kamu tidak suka. Jika kamu melakukannya, sederhana: kamu tidak mencintainya dan tidak pernah benar-benar siap memilihnya. Karena cinta dan sayang adalah satu kesatuan kuat antara kelebihan dan kekurangan. Cukup bijaksana, kan? Tapi ‘aku siap menerima semua bahagiamu tanpa harus memaksamu masuk ke bahagiaku’ berada satu tingkat di atas itu semua.

Sumber gambar: Heartlyhouse.org

Kita garis bawahi dulu sebentar. Hal yang kita anggap sebagai kekurangan dari pasangan kita, boleh jadi adalah hal yang membuatnya bahagia. Atau sebaliknya, hal yang ia anggap menjadi suatu kekurangan dari kita boleh jadi itulah yang membuat kita bahagia. Misalnya, saya ketika bersepeda motor merasa harus untuk selalu kebut-kebutan. Dan, iya, saya cukup bahagia melakukannya. Paling tidak, di waktu yang sebentar saya merasa sebagai penguasa jalanan. Tapi, untuknya, itu hal yang menyebalkan. Ia menganggap ‘kebut-kebutan’ adalah kekurangan yang harus segera ia musnahkan. Ya, konstelasi kekurangan-kebahagiaan seperti itulah yang kita garisbawahi yang, sayangnya, bukan yang akan kita bahas.

Masing-masing dari kita, untuk segala hal yang positif, memiliki cara yang berbeda untuk berbahagia. Kembali saya tandai tebal satu frasa: cara yang berbeda. Hal inilah yang kemudian akan menentukan selapang apa kita bisa saling menerima rasa bahagia masing-masing persona di sebuah ikatan hubungan. Hal yang kemudian akan menjaga kualitas dari sebuah hubungan.

Kita buat sedikit contoh. Baik saya atau dia memiliki satu keinginan yang sama: makan nasi pecel. Kami bersepakat makan nasi pecel romantis sambil menonton Teletubbies di siang hari yang gerimis. Tentu saja jika keingingan itu terwujud akan ada kepuasan batin yang, tentu saja, membuat kami bahagia. Yang berbeda, nasi pecel yang saya inginkan adalah nasi pecel dari hasil masakannya sendiri. Sedangkan, ia menginginkan saya untuk keluar sebentar membeli nasi pecel di depan gerbang komplek. Kenapa nasi pecel? Karena, ya, bahagia kami sederhana.

Lalu, bagaimana berikutnya? Bagaimana seharusnya? Mudah. Mengalah saja salah satu. Toh, sama-sama nasi pecel, kan? 

Tapi di dalam sebuah hubungan tidak pernah sesederhana itu. Ketika salah satu mengalah, berarti ada satu yang berkorban untuk merelakan bahagianya. Ketika salah satu mengalah, berarti ada satu yang merasa harus untuk meraih bahagiannya. Dan, tentu saja hal itu dapat mengkhianati sumpah ‘aku siap menerima semua bahagiamu tanpa harus memaksamu masuk ke bahagiaku’.

Bagaimana saya mengatasinya? Ada, tentu saja. Tapi ingat, masing-masing kita memiliki cara yang berbeda untuk berbahagia. Untuk kasus di atas, cara saya menuju bahagia mungkin berbeda dengan yang mungkin akan kamu lakukan. Jadi, ya silakan pikirkan sendiri bagaimana caranya.

Nasi pecel adalah salah satu contoh kecil yang mungkin terjadi di hubungan kehidupan yang semakin menua. Contoh lain? Kita sama-sama suka menonton film, membaca buku atau mendengar musik, tapi selera kita tidak sama. Kita sama-sama suka berwisata tapi tujuan dan tempat favorit kita berbeda. Yang paling mengerikan dan mungkin menyebalkan, kita sama-sama memiliki keyakinan yang kuat kepada Tuhan tapi Tuhan kita tidak sama.

Sumber gambar: beinglol.com

Saya atau kamu bisa saja menuliskan contoh-contoh yang lain. Tapi, tulisan ini akan setebal lapisan bumi jika harus dituliskan semuanya. Maka sebaiknya kita sepakati satu hal: perkara saling merima bahagia tidaklah pernah menjadi perkara yang mudah. Dan bukan perkara yang bisa dipaksa untuk dianggap mudah.

Apa saya sudah bisa melakukannya? Entahlah. Boleh jadi, ya. Boleh jadi, tidak.

Kamu boleh cemburu ketika saya mengatakan: “Saya amat sangat bahagia bisa hidup dan membersamainya”. Tapi apakah saya bahagia di setiap semua bahagianya? Apakah ia bahagia di setiap semua bahagia saya?

Kalimat ‘aku bahagia melihat kamu bahagia’ bisa menyelesaikan semua itu. Tapi, sekali lagi, dalam sebuah hubungan tidak pernah sesederhana itu. Maka, bisa menerima kebahagiaan masing-masing supaya menjadi kebahagiaan bersama tanpa harus mengubah saya menjadi dirinya atau mengubah dirinya menjadi dia yang kesaya-sayaan adalah sebuah anugerah tak terperi.

Bagaimana caranya? Saya tidak tahu.

Post a Comment

  1. Sebuah hubungan yang lama itu malah menyederhanakan banyak hal. Tak lagi meminta "bahagialah melihatku bahagia seperti bahagiaku melihatmu bahagia," tapi sudah otomatis terjadi.

    ReplyDelete
  2. Duh..... Kalau misalnya semua tak berjalan baik diawalnya sih agak berat ya... seperti syahrini dan reino satu atap sementara luna maya melihat dari teras sebelah hehehe... etapi apa hubungannya ama pecel ya??

    ReplyDelete
  3. Kata-katanya yang ditebali jleb banget... Mungkin kalau sudah menjalani hubungan yang tak terhitung, atau masih baru tapi kuat bener chemistrynya, sesuatu yang kelihatannya cukup egois, tapi memang harus ada salahsatu pihak yang harus mengalah yah mas,
    Nice share mas ^_^

    ReplyDelete
  4. yup, dalam hubungan tidak sesederhana itu. Enaknya aku dan kamu sama-sama bahagia eaaaaaaaaaaaaaa

    ReplyDelete
  5. Pemerimaan itu jadi long life learning kalau dalam konteks yang disebut di atas. Aku juga enggak tau gimana caranya, di mana ujungnya. Tapi yang pasti, ketika kita bersama orang yang tepat, proses long life learning itu tetap jadi sesuatu yang menyenangkan.

    ReplyDelete
  6. Sehabis baca ini menyadarkan Eny akan satu hal... Cinta terkadang tak harus memiliki, bahagia itu pun sederhana... Ketika bisa sama-sama bahagia dan melihat orang itu bahagia sudah cukup #edisibaper

    ReplyDelete
  7. Duh tulisan ini menyentil banget terutama bagi pasangan lama, apakah sudah bisa menerima bahagianya pasangan, seperti saya yang bahagia bergumul dengan buku tapi suami ternyata kurang bisa menerimanya sehingga buku-buku itu pun nadi berdebu di dalam dus-dus tanpa tersentuh

    ReplyDelete
  8. Artikel ini filosofis banget, ya. Aku mikirnya sampe ngernyit-ngernyitin jidat. Haha.
    Tapi buat aku pribadi, karena aku mikirnya enggak bisa rumit, jadi pilih yang simpel aja. Aku ingin bahagia dan bahagiain pasanganku. Begitupun dia. Jadi kita sama-sama singkirkan ego buat menciptakan kebahagiaan bersama. Gitu aja, sih 🤗

    ReplyDelete
  9. Setujuu! Perkara saling menerima bahagia tidaklah pernah menjadi perkara yang mudah. Dan bukan perkara yang bisa dipaksa untuk dianggap mudah.

    ReplyDelete
  10. Jadi pengen ketemu dan ngobrol sama si penulis kutipan Yosfiqar itu deh. Kepo aja gitu apa emang doi ti2san dari Dilan yang sengaja dilahirkan oleh Tuhan..

    ReplyDelete
  11. AKu jadi pengen nasi pecel #eh
    Emang hubungan itu intinya adaah belajar terus, khususnya belajar saling menerima kelebihan dan keurangan pasangan ya?
    Btw aku kok gak terlalu suka dengan kalimat: Aku bahagia kalau liat kamu bahagia yaaaa haha. Maunya ya "aku dna kamu smaa2 bahagia" #eaaaa :D

    ReplyDelete
  12. Saya juga menjadi semakin sadar, bahwa sebuah ikatan pernikahan bukanlah hal untuk mengubah dia menjadi aku.

    Tapi untuk mengubah aku dan kamu, menjadi kita.

    Bismillah~

    ReplyDelete


Powered by Blogger.